Kamis, 02 Juli 2009

Lingkungan Permukiman

Permasalahan lingkungan tidak dapat lepas dari permasalahan permukiman manusia (human settlements), apalagi semakin hari semakin banyak penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perkotaan. Jika pada tahun 2005 sudah terdapat 48,3 persen penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan, maka ”titik salip” di saat jumlah penduduk perkotaan akan lebih banyak daripada penduduk perdesaan diperkirakan akan terjadi di antara tahun 2010-2012. Pada umumnya, semakin besar suatu kawasan permukiman atau perkotaan (baik dari segi jumlah penduduk maupun besaran wilayah) maka semakin besar pula ”beban” lingkungan alam yang ditimbulkannya. ”Beban lingkungan” inilah yang sering disebut sebagai ”tapak ekologis” (ecological footprint). Pendekatan ”tapak ekologis” ini menekankan bahwa keberadaan dan berkembangnya suatu kawasan permukiman atau perkotaan memengaruhi lingkungan melalui tiga cara:

1. mengubah bentang alam;

2. menyedot sumber daya alam untuk mendukung keberadaan, kehidupan dan berkembangnya kawasan permukiman tersebut; serta

3. mengeluarkan limbah padat, cair dan gas yang dapat menciptakan polusi pada alam.

Dari perspektif ”tapak ekologis” ini, kota-kota yang secara internal terlihat ramah secara lingkungan (misalnya bersih dan hijau) dapat saja memiliki dampak lingkungan yang negatif jika terjadi kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan pada tempat-tempat di mana berbagai sumber bahan baku (kayu, pasir, batu, air dan lain-lain) untuk kawasan permukiman tersebut diambil, atau pada tempat-tempat di mana limbah (padat, cair dan gas) dari kawasan permukiman tersebut dibuang.

Secara keseluruhan pembangunan kawasan permukiman dan perkotaan di Indonesia belum mempertimbangkan aspek ”tapak ekologis” ini. Kota-kota umumnya berkembang secara melebar, tidak vertikal dan tidak efisien dalam penggunaan lahan, menciptakan apa yang disebut ”urban sprawl.” Hal ini sudah lama terjadi di kawasan metropolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), Surabaya dan sekitarnya, Bandung dan sekitarnya, Medan dan sekitarnya serta Semarang dan sekitarnya. Bahkan kota-kota yang lebih kecil pun, seperti Yogyakarta, sudah menunjukkan tanda-tanda sprawling kondisi sangat mengkhawatirkan, antara lain karena pengalihan lahan seringkali terjadi pada lahan-lahan yang sangat subur seperti umumnya di Pulau Jawa dan Sumatera. Kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan pun terjadi di tempat-tempat di mana pasir dan batu (untuk bahan bangunan) ditambang dan kayu ditebang.

Hal yang sama juga terjadi pada tempat-tempat pembuangan akhir sampah-sampah perkotaan yang umumnya terletak di luar batas wilayah administratif kota terkait sehingga menimbulkan konflik antardaerah. Secara regional, pola perkembangan permukiman dan perkotaan pun masih terpusat di Pulau Jawa, di mana 60% dari total penduduk Indonesia menempati wilayah seluas 6% dari total wilayah daratan Indonesia. Berbagai berbagai kebijakan telah diambil untuk mengatasi ketidakseimbangan pola pertumbuhan perkotaan ini, antara lain melalui kebijakan desentralisasi, pengembangan daerah-daerah tertinggal dan lain-lain. Namun karena ketimpangan persebaran prasarana dan sarana (khususnya pendidikan) serta lapangan pekerjaan ini terbentuk melalui proses yang panjang, maka upaya untuk mengimbanginya pun tidak dapat terwujud dalam waktu yang pendek. Yang penting adalah upaya yang terusmenerus untuk memeratakan pembangunan permukiman dan perkotaan. Yang juiga tidak kalah penting adalah diwujudkannya mekanisme (regulasi maupun pasar) yang dapat memitigasi kerusakan yang terjadi di daerah lain akibat dari suatu kehidupan maupun pertumbuhan kawasan permukiman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar